Rabu, 26 Januari 2011

Refleksi kemerdekaan

.



oleh Tri Pramono pada 18 Agustus 2010 jam 1:13                                                                                                                                              



Umur pak Selamat  nyaris setengah abad.                                                                                                                     


Sejauh ini ia merasa tidak ada sesuatu yang dapat dibanggakan kepada negerinya dan kedua orang tuanya selain lepas dari ketergantungan pada uluran tangan mereka sejak tiga puluh tahun yang silam, serta kesetiaannya mengabdikan diri sebagai karyawan pemerintah.
"Adalah Kuasa Allah, kami bertahan hidup jauh dengan sosok orang tua yang pernah mengantarkan aku hingga tamat SLTA.",gumamnya disuatu sore menjelang shalat isya. "Sejak itu aku mulai belajar hidup dengan orang lain. Hidup dibawah kendali organisasi. Hidup dalam dinamika dan rutinitas yang melelahkan."

Tinggal berjauhan dengan orang tua selama puluhan tahun membuat pak Selamat sadar bahwa hidup ini musti harus dijalani dalam kondisi seperti apapun. Menuntut kesabaran dalam segala cobaan, berusaha jujur dalam segala perbuatan, memegang amanah orang lain, menjaga kepercayaan orang lain, saling menghormati, selalu berusaha yang terbaik untuk diri sendiri dan orang lain , menghindari sesuatu yang merugikan orang lain apalagi bagi diri sendiri, bersyukur dengan apa yang telah diperoleh. 
Dan Pak Selamat nampaknya  tidak berambisi untuk mengejar kedudukan yang lebih tinggi dari yang sekarang, seperti kawan seangkatan, karibnya  sekarang menjabat sekwan di salah satu kabupaten. Ada juga yang duduk di eselon IV,III.  Ia tidak nampak gusar melihat keberhasilan mereka. Bahkan ia gembira sekali melihat teman2 sebayanya sukses.
Memang salah satu kelemahannya adalah tidak mau menggali lebih banyak potensi yang ada, sehingga jauh tertinggal dari kawan2nya yang sudah lebih mapan dalam tataran sosial ekonomii.
Mereka mendongkrak karir dengan nyambi sekolah.

"Menyesali keadaan? tanyaku pada pak Selamat, " Sama sekali tidak...Beruntung  aku tidak membebani orang tuaku yang memang keadaan ekonominya tergolong pas pasan. Kami 8 bersaudara sudah berkeluarga semua meski kondisi kami tidak sama. Ada yang hidup diatas standar dan ada yang secara ekonomi masih perlu di dukung untuk menjadi stabil. Tapi kami tidak berkomitmen untuk saling mendukung. Kami berupaya untuk menghidupi keluarga dengan jalan masing2, kami berusaha untuk tidak membebani satu sama lain, kami berusaha untuk bekerja dengan segala kekurangan dan kelebihan, kami setidaknya tidak mau menyumbang angka pengangguran di negeri ini."

Sepantasnya orang tua pak Selamat bangga dengan keadaan mereka.  Dan Apakah Indonesia bangga juga dengan mereka? Pak Selamat tidak tahu persis apa penilaian  mereka.  Yang kutangkap barangkali ada ketidak puasan orang tua dengan keadaan pak Selamat sekarang dibandingkan saudaranya yang lain yang lebih mapan. "Tapi kenapa materi yang menjadi ukuran dalam menilai keberhasilan orang?"  gumamnya dalam hati.
"Atau ketidakpuasan itu sekedar pemacu semangat supaya Aku lebih baik dari sekarang?"  Orang tua mana yang tidak ingin melihat anaknya sukses. Tapi pak Selamat merasa sedih jika orang tua menuntut anaknya untuk hidup materialistis. Ia juga sedih jika bangsa Indosnesia dinilai keberhasilannya hanya dari fisiknya saja, tidak menonjolkan sisi mental spiritualnya. 
Kalau pertanyaanya dibalik, jawabnya jelas "aku bangga kepada orang tuaku dan Indonesiaku, bagaimanapun kondisinya....Merdeka!!!"

Terlepas dari apa yang Pak Selamat sampaikan diatas, melihat situasi dan kondisi keIndonesiaan sekarang, tenaga kerja yang berpendidikan cenderung memperoleh kesempatan yang lebih baik dalam kompetisi kehidupan ini.  Itu tak terbantahkan. Hanya beberapa orang sukses yang berpendidikan dibawah SLTA. dan merekapun membutuhkan tenaga ahli untuk memajukan usahanya.
Disini amat jelas jika pendidikan menentukan nasib seseorang, dan peran orang tua sangatlah dibutuhkan bagi masa depan anaknya.

Aku mendengar banyak orang tua yang memperjuangkan status anaknya kesekolah favorit dengan mengeluarkan biaya puluhan juta padahal profesinya hanya seorang supir truk. Tapi ternyata supir truk gajinya lebih besar dari seorang PNS gol.III.  Lalu untuk memenuhi kebutuhan sarana belajar saja seperti les, buku, komputer dsb mereka sampai memanfaatkan lembaga jasa peminjaman uang yang sekarang mudah diperoleh dimana- mana. Itu mereka tempuh demi yang namanya status pendidikan si anak yang konon kedepannya bakal berpengaruh terhadap nilai tawar seseorang dalam bursa kerja. Itulah sikontol Indonesia saat ini.

Melihat kenyataan ini, diusianya yang ke 65 Indonesia, pak Selamat bertekad memfasilitasi anak2nya menempuh jenjang pendidikan yang lebih baik dari dirinya. "Kalau supir truk itu bisa, kenapa aku.....Aku berharap anak2ku akan hidup lebih sejahtera dari pada aku," katanya melanjutkan sambil memasang kopiahnya siap2 berangkat tarawih. "Selebihnya biar Allah yang memastikan. Karena mereka punya jalan yang telah ditentukan sendiri2 dan rejeki yang telah diatur olehNya. Seperti orang tuaku dulu melepaskan aku hidup sendiri jauh dari pengawasannya setelah aku tinggalkan bangku sekolah. Orang tuaku tahu persis bahwa anak membawa rezekinya masing2." pungkasnya. 

Memang sekolah bukan segalanya, tapi setidaknya..pak Selamat harus lebih serius kedepanya dalam menjembatani anak2nya menjalankan studinya. Ya Allah mudahkanlah segara urusan pak Selamat , limpahkan rezekinya ,  jadikanlah anak2nya generasi yang bermanfaat bagi negeri ini, jauhkan dari korupsi jika mereka menjadi pegawai swasta atau negeri...  Merdeka ! merdeka!! merdeka !!  atau mati saja !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar